Ada Apa Dibalik Perayaan Menyambut Tahun Baru


 



Ada Apa Dibalik Perayaan Menyambut Tahun Baru?


1. Perayaan Tahun Baru (Masehi/Semisal) Bukan Termasuk Ajaran Islam

     Banyak di antara orang-orang yang ikut merayakan tahun baru mungkin tidak mengetahui kapan pertama kali acara tersebut diadakan dan latar belakang mengapa hari itu dirayakan.
     Perayaan pergantian tahun atau tahun baru telah dilakukan oleh masyarakat Mesopotamia pada sekitar 2000 SM. Mereka merayakan pergantian tahun saat matahari tepat berada di atas katulistiwa, yang sekarang bertepatan pada tanggal 20 Maret.
     Perayaan tradisional seperti itu disebut Nowruz, yang sampai saat ini masih dilakukan di beberapa negara Timur Tengah. Setelah itu, peradaban di seluruh dunia juga tercatat merayakan tahun baru yang didasari oleh berbeda peristiwa.
     Perayaan tahun baru pada 1 Januari pertama kali dilakukan pada 46 SM, pada masa kekuasaan Kaisar Romawi, Julius Caesar. Kala itu, Julius Caesar memutuskan mengganti penanggalan Romawi yang terdiri dari 10 bulan (304 hari), yang dibuat oleh Romulus pada abad ke-8. Dalam mendesain kalender baru, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi asal Iskandariyah, Mesir. Sosigenes menyarankan agar penanggalan baru dibuat berdasarkan revolusi matahari, seperti yang dilakukan orang Mesir kuno. Setelah itu, 1 Januari resmi ditetapkan sebagai hari pertama tahun, di mana satu tahun terdiri atas 365 seperempat hari.
     Nama Januari diambil dari nama dewa dalam mitologi Romawi, yaitu Dewa Janus, yang memiliki dua wajah yang menghadap ke depan dan ke belakang. Masyarakat Romawi meyakini bahwa Dewa Janus adalah dewa permulaan sekaligus dewa penjaga pintu masuk. Julius Caesar juga setuju untuk menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM, sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Untuk menghormati Dewa Janus, maka orang-orang Romawi mengadakan perayaan setiap tanggal 31 Desember tengah malam untuk menyambut 1 Januari.
     Jadi kegiatan ini sama sekali tidak berasal dari ajaran Islam, tapi merupakan pesta warisan dari masa lalu yang dahulu dirayakan oleh orang-orang Romawi. Mereka (orang-orang Romawi) mendedikasikan hari yang istimewa ini untuk seorang dewa yang bernama Janus, The God of Gates, Doors, and Beeginnings. Janus adalah seorang dewa yang memiliki dua wajah, satu wajah menatap ke depan dan satunya lagi menatap ke belakang, sebagai filosofi masa depan dan masa lalu, layaknya momen pergantian tahun. (G Capdeville “Les épithetes cultuels de Janus” inMélanges de l’école française de Rome (Antiquité), hal. 399-400). Wa Allahu a'lam.


2. Merayakan Tahun Baru Berarti Mengikuti Perayaan Orang Kafir Dan Termasuk Tasyabbuh

     Tasyabbuh pada perayaan orang kafir itu terlarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita untuk meniru kebiasaan orang jelek, termasuk orang kafir. Beliau bersabda,

من تشبه بقوم فهو منهم

Siapa yang meniru kebiasaan satu kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (Hadis shahih riwayat Abu Daud)

     Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan,

من بنى بأرض المشركين وصنع نيروزهم ومهرجاناتهم وتشبه بهم حتى يموت خسر في يوم القيامة

“Siapa yang tinggal di negeri kafir, ikut merayakan Nairuz dan Mihrajan (hari raya orang majusi), dan meniru kebiasaan mereka, sampai mati maka dia menjadi orang yang rugi pada hari kiamat.”

3. Merayakaan Tahun Baru Berarti Membuat Hari Raya Baru Padahal Hari Raya Umat Islam Hanya 'Idul Fitri Dan 'Idul Adha.

     Hari raya merupakan bagian dari agama dan mengandung unsur doktrin keyakinan, bukan semata perkara dunia dan hiburan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang di kota Madinah, penduduk kota tersebut merayakan dua hari raya, Nairuz dan Mihrajan. Beliau pernah bersabda di hadapan penduduk Madinah,

قدمت عليكم ولكم يومان تلعبون فيهما إن الله عز و جل أبدلكم بهما خيرا منهما يوم الفطر ويوم النحر

Saya mendatangi kalian dan kalian memiliki dua hari raya, yang kalian jadikan sebagai waktu untuk bermain. Padahal Allah telah menggantikan dua hari raya terbaik untuk kalian; idul fitri dan idul adha.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Nasa’i).
     Perayaan Nairuz dan Mihrajan yang dirayakan penduduk madinah, isinya hanya bermain-main dan makan-makan. Sama sekali tidak ada unsur ritual sebagaimana yang dilakukan orang majusi, sumber asli dua perayaan ini. Namun mengingat dua hari tersebut adalah perayaan orang kafir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya. Sebagai gantinya, Allah berikan dua hari raya lebih baik yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
     Untuk itu turut bergembira dengan perayaan orang kafir (meskipun hanya bermain-main dan tanpa mengikuti ritual keagamaannya) termasuk perbuatan yang telarang, karena termasuk turut mensukseskan acara mereka.

    
4. Mengikuti Hari Raya Orang Kafir Termasuk Bentuk Loyalitas Dan Menampakkan Rasa Cinta Kepada Mereka

     Allah melarang kita untuk menjadikan mereka sebagai kekasih (memberikan loyalitas) dan menampakkan cinta kasih kepada mereka. Allah berfirman :

يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا عدوي وعدوكم أولياء تلقون إليهم بالمودة وقد كفروا بما جاءكم من الحق …

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (rahasia), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu..” (QS. Al-Mumtahanan: 1)

5. Kita Seharusnya Tidak Mengikuti Atau Tidak Meniru-niru Orang Kafir Dalam Perkara Agama Dan Keyakinan

     Yang kita ikuti bukanlah orang kafir atau ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena setiap rakaat dalam shalat, kita terus memohon kepada Allah jalan yang lurus yang bukan jalannya orang Yahudi dan Nasrani.
     Dalam surah Al-Fatihah disebutkan,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah: 6-7)
     Jalaluddin Al-Mahalli rahimahullah dalam Tafsir Jalalain menerangkan ayat di atas, “Orang-orang yang mendapatkan hidayah itu bukanlah orang-orang Yahudi dan bukan orang-orang Nasrani.” Lihat Tafsir Jalalain, hlm. 10.
     Kalau mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak mendapatkan hidayah, kenapa sampai perayaan mereka diikuti oleh umat Islam?

6. Merayakan tahun baru termasuk begadang tanpa ada keperluan, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang begadang setelah Isya tanpa ada hajat.
    
     Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.” (HR. Bukhari, no. 568)
     Ibnu Baththal rahimahullah menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?!” (Syarh Al-Bukhari, Ibnu Baththal, 3:278, Asy-Syamilah)

7. Merayakan Tahun Baru Termasuk Tabdzir, Buang-buang Harta Untuk Tujuan Yang Salah.

     Sebelumnya perlu kita luruskan, untuk membedakan antara mubazir dengan tabzir. Tabdzir itu sikap dan perbuatan, sedangkan pelakunya disebut mubazir. Kata tabdzir dan mubazir telah Allah Ta’ala sebutkan dalam Alquran. Allah berfirman,

وَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا (26) إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ

“Berikanlah kerabat dekat, orang miskin dan ibnu sabil hak mereka. dan jangan sekali-sekali bersikap tabdzir, sesungguhnya orang yang suka bersikap tabdzir adalah ikhwan (saudara/teman) syaithan.” (QS. Al-Isra’: 26 – 27)

8. Melibatkan Dirinya Dalam Hari Raya Orang Kafir Berarti Bukan Termasuk 'Ibadurrahman (Hamba-hamba Allah Pilihan)

     Di antara ayat yang menyebutkan secara khusus larangan menyerupai hari-hari besar orang kafit adalah firman Allah :

وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ

“Dan orang-orang yang tidak turut dalam kegiatan az-Zuur (memberikan persaksian palsu).” (QS. Al-Furqan/25 : 72)
     Ayat ini berkaitan dengan salah satu sifat 'Ibadurrahman yaitu para hamba Allah yang beriman. Sekelompok Salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid dan Ar-Rabi’ bin Anas menafsirkan kata “Az-Zuura” (di dalam ayat tersebut) sebagai hari-hari besar orang kafir. Sehingga artinya berlaku sebaliknya, jika ada orang yang turut melibatkan dirinya dalam hari raya orang kafir berarti dia bukan orang baik.

9. Merayakan Tahun Baru Terkadang Bisa Sampai Meninggalkan Shalat Padahal Meninggalkan Shalat Sekali Saja Telah Melakukan Dosa Besar Yang Lebih Parah Dari Berzina Dan Judi.

10. Pada Malam Tahun Baru, Banyak Kaum Muslimin Ikut Membunyikan Terompet Dan  Lonceng Yang Merupakan Syiar Orang Yahudi Dan Nashrani.

11. Mengucapkan Selamat Tahun Baru Atau Happy New Year Termasuk Ucapan Selamat Yang Tidak Dibolehkan Karena Perayaannya Tidak Disyariatkan.

Wa Allahu a'lam.

Komentar